Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Rencana ini
ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka
Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di
kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan
daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di
Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU)
memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba
menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos
dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern
Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi,
dan pada 17 April 1963, pemimpin
pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah
yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia
melihat pembentukan federasi sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk
turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini
sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai
bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.
Demonstrasi
anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku
ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno
yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia juga kerana serangan pasukan
militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini berikutan pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan
terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu
pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah
untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya.
Soekarno
yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia[6] dan
ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan
nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang
amat bersejarah, berikut ini:
“
|
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh
Malaysian keparat itu.
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa,
sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak
harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk
melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan
bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki
martabat.
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Jawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno.
|
”
|
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap
bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia
(sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah
untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di
Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora)
yang isinya:
§ Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
§ Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah,
untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan
meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh
gerilyawan Indonesia. Meskipun
Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik
dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei
menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari. Ketegangan
berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan
membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di
Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia
ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang
perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan;
pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawakdan Sabah, dengan
tanpa hasil.
Komando Aksi
Sukarelawan.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di
Semenanjung Malaya. Di bulan
Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang
terhadap Malaysia (Operasi Dwikora).
Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga).Kolaga dipimpin
oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari
tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang
terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu
batalyon KKO.
Komando ini
sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda)
berkedudukan di Bengkayang,Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang
berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando
ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah
Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan
Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan
Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di
perbatasan juga meningkat.Tentera Laut di Raja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk
mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan
dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi
utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia.
Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah
Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaituSpecial Air Service(SAS).
Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia
(SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa
Edisi 2006).
Ketika PBB
menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari
PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan
mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces,
Conefo) sebagai alternatif.
Pada
Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan
setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan
3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu
pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi,
pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan
Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia,
masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada 1 Juli
1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak
pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8
September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Menjelang
akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah
berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan
Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan
peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di
sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia
mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian
perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Referensi
dan bacaan lebih lanjut
(Inggris) Easter,
D. Britain and the Confrontation with Indonesia, 1961-1965, (2004,
London) I.B.Tauris, ISBN 1-85043-623-1
(Inggris) Jones,
M. Conflict and Confrontation in South East Asia, 1961-1965: Britain,
the United States and the Creation of Malaysia. (2002, Cambridge)
Cambridge University Press. ISBN 0-521-80111-7
(Inggris) Mackie,
J.A.C. Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (1974,
Kuala Lumpur) Oxford University Press.
(Inggris) Subritzky,
J. Confronting Sukarno: British, American, Australian and New Zealand
Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965, (2000, London)
Palgrave. ISBN 0-312-22784-1
Awal
persengketaan
Persoalan klaim diketahui setelah
pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut
antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan
Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada
tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia
dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia - Malaysia, [1] kedua negara masing2
melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada
tahun 1969 Malaysia
membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra
blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura
tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali
ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. [2] Akan
tetapi pada tahun 1979pihak
Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan
yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok
maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10'
arah utara melewati Pulau Sebatik. [3] Indonesia memprotes dan
menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal
Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan
Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia
melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihakMalaysia untuk melakukan ekspansi terhadap
wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai
bagian dariMalaysia oleh Mahkamah Internasional.
Aksi-aksi
sepihak
§ Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang {nama resmi Karang Unarang) Sebanyak
17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
§ Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
§ Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan
ENI.
§ Berkaitan dengan itu pula surat kabar Kompas mengeluarkan berita bahwa
Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut .
Berita tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang
menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh
Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf karena
berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk
mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap
menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.
§ Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf
dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah
judulKompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai.
§ Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh
Malaysia.[7]
§ Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah
Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA,
kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki
wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu
dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik
Indonesia.
Sengketa Sipadan dan Ligitan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sengketa
Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan
koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan
koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah
ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional
Daftar isi
· 1 Kronologi sengketa
· 2 Keputusan Mahkamah Internasional
· 3 Lihat pula
· 4 Referensi
|
Persengketaan antara Indonesia
dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum
laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau
Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu
sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan
dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata
pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang
dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak
Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini
selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi
daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah
dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan
tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil
yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau
yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia
telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya,
fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan
dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun
1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam
peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara
atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in
Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali
ini antara lain menyebutkan bahwa
akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
\perselisihan yang terjadi di antara
sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak
menempatkan sepasukan polisi hutan
(setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara
Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak
Indonesia yang ingin membawa masalah
ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak
membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada
tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM
Mahathir tersebut yang
kesepakatan "Final and
Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani
persetujuan tersebut. Indonesia
meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan
Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian
pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan
Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa
Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1] [2] kemudian
pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus
sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu
hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbanganeffectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim),
yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan
batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. [3][4] [5]
1. http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0 Sovereignty
over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)
2. http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf FOR
SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN
INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU
SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998
3. Energy Security and Southeast Asia: The
Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes. Harvard Asia Quarterly.
Fall 2005.
4. http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7700.pdf Judgment
of 23 October 2001
5. http://www.icj-cij.org/docket/files/102/10570.pdf Judgment
of 17 December 2002