Saturday, September 28, 2013

Resensi



Resensi Buku “Habibie & Ainun”





Cinta Murni, Suci, Sejati, Sempurna dan Abadi
 

Judul buku                  : Habibie & Ainun
No. ISBN                    : 978-979-1255-13-4
Penulis                         : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit                       : PT. THC Mandiri
Diterbitkan                  : Jln. Kemang Selatan No.98 Jakarta 12560 - Indonesia
Tahun Terbit                : 2010
Cetakan buku              : Cetakan pertama, Novemberer 2010, 25.000 eksemplar
Kategori                      : Biografi
Jumlah Halaman          : xii+323 halaman
Jumlah bab                  : 37 bab
Resolusi                       : 14 cm x 21 cm
Teks                             : Bahasa Indonesia
Harga                          : Kisaran Rp 30.000
 


Sinopsis
            Buku non-fiksi yang ditulis sendiri oleh Presiden RI ke-3, Bapak Habibie ini mengisahkan tentang perjalanan Pak Habibie dari ketika pertemuan pertama beliau dengan Ibu Ainun, setelah sebelumnya beliau lama sekolah di Jerman, yang melahirkan cinta diantara mereka, hingga wafatnya istri beliau tercinta. Saya kisahkan sedikit tentang pertemuan yang menjadi awal lahirnya bahtera rumah tangga mereka.
Sekitar pukul 10 pagi hari Rabu tanggal 7 Maret 1962, Fanny(J.E. Habibie) adik kandung Pak Habibie mengajak beliau untuk berkunjung ke keluarga Besari di Ciumbeluit Bandung. Keluarga Besari dikenal sebagai  keluarga yang ramah dan intelektual terpelajar. Khusunya Bapak dan Ibu Besari terbuka bagi siapa saja tanpa membedakan siapapun. Putra-putri keluarga besar Besari bersekolah di SMA-Kristen di Jalan Dago, dimana beliau juga bersekolah. Sahari putra tertua keluarga Besari dari kelas 2 SMA sebagai extrane langsung tamat SMA dan diterima di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung yang sekarang bernama ITB.
Dengan menggunakan mobil ibu Pak Habibie, beliau bersama Fanny menuju rumah keluarga Besari. Ternyata rumah yang mereka tuju sudah pindah ke Jalan Rangga Malela no. 11 B. Setibanya di rumah keluarga Besari, Fanny tanpa mengajak beliau ikut ke dalam rumah, meninggalkan beliau di mobil sambil mengatakan agar beliau tunggu saja di mobil. Toh nanti akan diajak masuk, jika ternyata tidak mengganggu persiapan untuk malam Takbiran dan Hari Idul Fitri. Tentunya Ibu Besari sibuk dengan berbagai kegiatan.
Hampir setengah jam Pak Habibie menunggu, Fanny tak kunjung datang, dalam keadaan tak menentu itu, beliau keluar dari mobil dan mengetuk pintu sambil berucap Hallo..Hallo..Hallo.. namun tak ada jawaban. Beliau lalu nekat masuk ke dalam rumah. Sewaktu beliau memasuki ruang makan, ternyata Ainun putri bapak Besari duduk seorang diri, ia sedang menjahit dan bercelana panjang “blue jeans”.
Beliau sungguh tak menyangka bertemu Ainun dan nampaknya begitu juga dengan Ainun. Reaksi spontan beliau: “Ainun, kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!” Ainun kaget pula melihat beliau yang lebih dari 7 tahun tidak bertemu. Dengan tenang dan sambil tersenyum ia bereaksi: “Rudy, kapan kamu tiba dari Jerman?”
Beginilah asal-muasal julukan “gula jawa” tadi. Terkenang tujuh tahun lalu ketika Ainun sedang duduk bersama beberapa wanita sekelasnya menikmati sarapan pagi bersama, tiba-tiba beliau datang mengucapkan kepada Ainun: “Mengapa kamu begitu hitam dan gemuk?” Ainun pada waktu itu hanya kaget beliau datangi dan mengucapkan pertanyaan yang tidak sopan itu. Ia dan kawan-kawannya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala saja. Karena kulit Ibu Ainun yang gelap pada waktu itulah yang membuat Pak Habibie menjuluki “gula jawa”.




Setelah saya membaca buku ini, saya mendapatkan beberapa kelebihan dan kekurangan dari buku ini.

A.       Kelebihan Buku
1. Saat merasa buku ini sangat mencerminkan sang penulis, yaitu Pak Bacharuddin Jusuf Habibie.
Saat membaca buku ini, saya dapat membayangkan Pak Habibie berbicara dan bercerita.
Setelah bertahun-tahun tidak pernah melihat pidato-pidato Pak Habibie (yang sejujurnya dulu sangat membosankan), buku ini bisa menjadi penawar rindu yang sangat ampuh.
Selain itu, karena cara penyampaian dalam buku ini benar-benar menggambarkan Pak Habibie, saya semakin kagum dengan apa yang ada di dalam otak dan pemikiran beliau. Betapa hebatnya beliau menciptakan berbagai macam rencana-rencana untuk hidupnya, untuk lembaga-lembaga yang dipimpinnya, dan untuk Indonesia.
2. Bukan cinta melulu.
Sebelum membaca buku ini, saya mengira bahwa saya akan mendapatkan bacaan yang fokus pada kisah percintaan antara Habibie dan Ainun. Saya senang sekaligus juga cukup kaget karena, tidak saja disuguhkan cerita dibalik kehidupan suami-istri mereka berdua, Pak Habibie juga menuliskan berbagai kisah sejarah Indonesia dan benih-benih pemikiran beliau.
Saya justru tidak dapat membayangkan buku jika isinya hanya masalah cinta melulu.
3. Mau atau tidak mau, rasa nasionalisme saya tergugah saat membaca buku ini.
Pak Habibie memberikan deskripsi yang begitu detil tentang perjuangan dia membangun industri dirgantara Indonesia. Kalimat-kalimat yang beliau tulis mengenai kemampuan putra-putri bangsa, mau tidak mau menggelitik rasa nasionalisme saya.
Dulu Pak Habibie bisa menginisiasi proyek sebesar PT DI, kenapa anak-anak muda zaman sekarang belum bisa melanjutkan perjuangan-perjuangan tersebut?
Tingginya idealisme dan nasionalisme Pak Habibie dan keluarga, yang bersedia meninggalkan hidup berkecukupan di Jerman dan malah pulang ke Indonesia, itu saya akan ingat sampai kapanpun.
Semoga saya bisa mencontoh perilaku tersebut nantinya.
4. Saya jadi sedikit lebih menghormati Soeharto.
Saat saya membaca buku ini, saya mulai berpikir: mungkin selama ini kebencian dan kejijikan saya terhadap Soeharto termasuk tanpa alasan.
Pak Habibie yang (saya yakin) kemampuan otaknya diatas rata-rata orang Indonesia saja mengagumi Soeharto, mengapa saya tidak?
Padahal, saya tidak pernah merasakan sendiri susahnya atau enaknya hidup di zaman kepemimpinan Soeharto, waktu itu saya masih terlalu kecil untuk mengerti.
Saya juga belum pernah membaca buku-buku sejarah atau berdiskusi dengan orang yang lebih tua tentang bagaimana sebenarnya masa kepemimpinan Soeharto.
Saya mungkin harus segara mencari tahu tentang sejarah bangsa saya sendiri di masa orde baru, termasuk mungkin membaca biografi Soeharto sehingga saya mendapatkan cerita dari kedua sisi.
Baru setelah itu saya lakukan, saya kemudian bisa memutuskan sikap saya terhadap Soeharto.

B.       Kelemahan Buku
1. Karena buku ini sangat menggambarkan Pak Habibie yang sedang bercerita, kalimat-kalimat dalam paragraf-paragraf yang ada dalam buku ini sering terasa membingungkan dan tidak wajar.
Saya tidak tahu apa yang ada di dalam otak Pak Habibie, tapi saya yakin otaknya sangat penuh dengan berbagai macam pemikiran tentang berbagai macam hal. Mungkin beberapa hal tersebut saling bertubrukan satu sama lain. Atau bahkan mungkin rantai pemikiran beliau tentang hal A, malah berlilitan tanpa sengaja dengan rantai pemikiran hal B. Hal ini semua tergambarkan dalam buku ini.
2. Sungguh saya sayangkan buku yang begitu istimewa ini tidak disempurnakan dengan kehadiran seorang editor.
Ataukah saya yang salah mengerti?
Saya sudah berusaha mencari siapa editor yang membantu sebelum resminya diterbitkan buku ini, namun tidak satu nama pun muncul.
Menurut saya, ketidakhadiran seorang editor membuat kekurangan-kekurangan dalam buku ini menjadi begitu menonjol.
Misalnya saja di dalam buku ini tidak jarang kata “Ainun” malah dicetak menjadi “AInun” atau pun kata “tetapi” menjadi “tatapi.”
Satu hal yang sangat-sangat mengganggu keindahan bahasa penulisan adalah tidak konsistennya pemilihan kata antara “saya” dan “aku”. Di dalam satu kalimat, contohnya:
“… dan Ainun selalu mengilhami saya dengan senyuman yang kurindukan.”
Sungguh-sungguh-sungguh sangat disayangkan.
3. Cerita cinta masih kurang
Kontradiktif dengan poin nomor 3 kelebihan buku ini, sebesar apapun saya menyukai sisi sejarah dan berbagai macam cerita tentang perjuangan Pak Habibie, saya merasa kisah percintaan antara Pak Habibie dan Ainun hanya dirayakan di awal dan akhir buku. Di pertengahan buku, saya merasa cerita-cerita tentang kegiatan Ainun dan deskripsi tentang kecintaan Pak Habibie dan Ainun hanya merupakan sisipan yang cuma mampir. Selipan-selipan yang seharusnya menjadi cerita betapa dalamnya cinta kasih Pak Habibie dan Ainun dirasa terpaksa dituliskan demi menyokong judul buku ini.
4. Kurang Foto
Saya bukan jenis orang yang lebih suka membaca sesuatu yang bergambar, tapi saya sangat setuju dengan ungkapan bahwa gambar dapat menggantikan berjuta-juta kata yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu.
Mungkin hal ini disebabkan karena buku ini buru-buru diterbitkan, mumpung waktu meninggalnya Ainun belum terlalu lama. Atau juga kesalahan penerbit yang menyetujui penerbitan buku ini.
Tapi, dengan menyokong pernyataan saya di poin kekurangan nomor 3, buku ini akan menjadi lebih berwarna bila disertakan dengan gambar-gambar Pak Habibie bersama Ainun.
Alangkah baiknya jika kecintaan Pak Habibie dan Ainun digambarkan dalam foto keluarga bersama Ilham dan Thareq.
Sungguh sangat disayangkan bahwa pembaca hanya diberikan rangkaian kata soal foto keluarga terakhir sebelum Ainun meninggal, tanpa dimanjakan matanya dengan keberadaan foto tersebut.
Begitulah pendapat saya mengenai buku ini.
Saya yakin banyak orang-orang yang tidak setuju dengan pendapat saya ini, tetapi semua orang kan berhak mengutarakan opininya masing-masing.
Satu hal yang perlu saya beri penghargaan tertinggi adalah bab terakhir dalam buku Habibie dan Ainun. Menurut saya, bab terakhir itu merupakan secuil gambaran betapa kompleksnya pemikiran Pak Habibie.
Utamanya tentang bagaimana beliau menggabungkan iman dan takwa (imtak) dengan ilmu pengetahuan & teknologi (iptek).
Analogi yang sungguh menyeluruh dan terbaik yang pernah saya baca!
Bagi yang belum pernah membaca buku ini, saya berdoa agar diberikan kesabaran dan dijauhkan dari kebosanan saat membacanya!

No comments:

Post a Comment