Monday, March 31, 2014

Pulang Kampung si Jalak Bali




Populasi curik di Taman Nasional Bali Barat tinggal 50 ekor. Warga di dekat habitat aslinya ikut mengembangbiakkan dengan iming-iming boleh menjual burung langka itu.
 
K
icauan brung seolh jadi lagu penyambut tamu di Desa Sumberklampok, Buleleng, Bali. Cuit-ciut itu berasal dari puluhan spesies burung di Taman Nasional Bali Barat, yang bersebelahan dengan Desa yang berjarak 2 kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk ini. Kor semakin merdu oleh iringan nyanyian sekawanan jalak Bali (Leucopsar rothschildi).

       Burung khas Pulau Dewata itu sungguh cantik. Bulunya putih bersih,dengan sedikititam pada ujung sayap dan ekor. Matanyayang coklat dikelilingi kelopak biru tua. Bila berkicau, jambulnya tegak menantang langit. Jambul si jantan lebih tinggi ketimbang betina. Namun nasib burung itu tidak seelok perawakannya. Pembangunan pusat wisata dunia itu membuat habitat asli curik-hutan mangrove, hutan pantai, hutan musiman, dan savana-tergerus. Diluar kerangkeng, mereka hanya bisa ditemui di Semenanjung Prapat Agung, Tanjung Berumbun, dan Tanjung Gelap Pahlengkong, wilayah yang termasuk Taman Nasional Bali Barat.



       Dihutan seluas 19 ribu hektar itu Cuma terdapat 20-25 pasang jalak Bali. Itu pun kebanyakan hasil pelestarian dari penangkaran. “Yang murni lahir dan tumbuh disini diperkirakan tidak lebih dari lima ekor,” kata Nana Rukmana, Kepala Resor Pembinaan Populasi Curik Taman Nasional Bali Barat, kepada Tempo dilokasi dua pekan lalu.
Statusnya yang terancam punah dilindungi dengan peraturan pemerintah no 7 tahun 1999. Toh, beleid ini tidak  mellindungi mereka dari peredator alami. Warna burung curik yang terang membuatnya  jadi sasaran empuk elang, pemangsa utama yang juga menghuni belantara itu. Ini belum menghitung masalah mendapatkan makanan yang dialami curik hasil pelepasliaran, yang sejak lahir terbiasa disuapin manusia.

       Mereka juga melobi Taman Nasional agar memperlancar izin yang diterbitkan Badan Konservasi Sumber Daya Alam  Bali. Perjanjian menyebutkan warga mendapat pinjaman jalak Bali dengan jaminan sapi. Setelah dua tahun, indukkan plus dua anaknya diserahkan kepada pemilik asal Taman Safari Indonesia. Anakan lain jadi hak penangkar dan bebas diperjual belikan. Harga pasarannya cukup membuat mata melotot, mencapai Rp. 25 juta sepasang. Sembari menunggu izin, warga menyiapkan kandang dari batako dan berpintu jeruji besi kadang 20 meter persegi itu memiliki beberapa sel yang luasnya sekitar 2x1 meter, lengkap dengan jerami untuk mengerami telur invertasinya mencapai enam juta rupiah. Belum termasuk Rp. 500 ribu perbulan untuk membeli pakan. Biaya yang tidak sedikit bagi kami kata Misnawi, lima puluh satu tahun tahun. Petani sayuran ini ditunjuk jadi ketua kelompok Manuk Jegeg atau burung cantik-yang terdiri atas 12 penangkar disumber klampok.

Berikut ini adalah video berita tentang mahalnya jalak Bali:


     Abdulkadi, 60 tahun, tercatat sebagai penangkar paling produktif dengan 3 anakan. Pernah menjadi pemburu dan penjual jalak Bali sejak 1974 sampai 1980-an, dia berbagi pengalaman. Menurut dia, curik bisa menghasilkan dua atau tiga butir sekali bertelur. Masa pengeramannya sekitar empat pekan, tapi kerap menyisakan telur sonder hasil. Begitu menetas, dia melanjutkan, anakan harus segera dipisahkan dari induknya. Sebab, mereka bukan tipe orang tua yang patut digugu. Entah kenapa, induk suka mengatuk-ngatuk anaknya. “Sering sampai mati,” kata Abdulkadi. Dia memilih mengungsikan anakanya diyayasan seka, yang memiliki inkubator, kotak berbentuk microwave dan dilengkapi penghangat. Ditempat itu, anakan diberi pakaian sedikit demi sedikit saban jam.

     
  Diluar Desa itu, ada 13 penangkar lain yang mengantongi izin dari Badan Konservasi. Semuanya berbentuk yayasan atau lembaga, termasuk Kebun Binatang Bali. Cuma satu individu terselip, yaitu Mario Blanco, putra pelukis legendaris Antonio Blanco. Mario mengembangbiakan curik sejak 2005, dan memiliki 80 ekor yang dipelihara dirumahnya di Ubud. Ini jumpalah yang lebih banyak dari pada populasi asli jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat, yang terpaut jarak sekitar 150 kilometer. Burung-burung itu ditempatkan dalam sangkar berukuran 10 x 2 meter dan tinggi 3 meter.
Mario tergolong nekat karena memelihara jalak Bali. Dia jadi satu-satunya orang yang memiliki izin edar, dokumen wajib dalam setiap transaksi dan pemindahan tanganan burung ini. Para penangkar disumber klampok baru akan mengurus izin edar 2 tahun mendatang setelah mereka mengembalikan indukan yang dipinjam dari Taman Safari Indonesia. Baru tibalah masa panen,”Selain ikut pelestarian, kami ingin memperoleh manfaat ekonomi,”kata Misnawi dari Manuk Jegeg. Bayangan fulus terbantang dimatanya. Curik yang berkicau dibelakangnya seperti mengiyakan ucapan sang majikan. 

Sumber:
Mohamad, Goenawan. 2011. "Kipas-kipas Bara Century". Tempo, 25 September 2011

No comments:

Post a Comment